Sejarah Pondok Pesantren Al-Khiyaroh

 SEJARAH PONDOK AL-KHIYAROH BUNTET PESANTREN

  



    Al-khiyaroh adalah salah satu pondok yang berada di lingkungan buntet pesantren, kelurahan Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, kabupaten Cirebon. Al-khiyaroh merupakan Pondok pesantren yang berfaham Ahlussunnah Waljama’ah yang memiliki ciri wasathiyah yang sering diterjemahkan sebagi moderasi beragama.

    Al-khiyaroh didirikan pada tahun 1968 M oleh KH. Nashirudin AZ (13 Juli 1944-15 Desember 1991). Di awal pendiriannya al-khiyaroh hanya menerima santri putra dan belum memiliki bangunan asrama sendiri, pada saat itu santri putra ini masih ditempatkan dirumah beliau. Akhirnya pada tahun 1986-1987 KH. Nashirudin membangun sebuah asrama (30 m dari rumah kediaman), adapun alasan beliau membangun sebuah asrama ini lantaran semakin banyaknya jumlah santri. Pada tahun tersebut tepatnya setelah pembangunan, beliau menamakan pondok ini secara resmi dengan nama Al-Khiyaroh, nama Al-khiyaroh sendiri diambil dari bait/nadzom terakhir kitab Alfiyah, disamping itu juga diambil dari nama putrinya yang pertama (Laili Khiyaroh). Sejak pembangunan asrama tersebut beliau mulai menerima santri putri yang ditempatkan berdampingan dengan kediaman beliau yang sebelumnya ditempati santri putra.

    Pada tanggal 15 Desember 1991, KH. Nashirudin Zahid pulang kerahmatullah dengan meninggalkan 1 istri (Ny. HJ Khotimah Yusuf), 5 putra (Ny. Laili Khiyaroh, KH. Moh Farid NZ, KH. Ahmad Haris NZ, K. Moh Lutfi Yusuf NZ, K. Moh. Raden Zidni Ilman NZ), 1 Menantu (K.H Ilham Suhrowardi) dan 1 cucu (Yayu Ivana Amelia). Pasca wafat beliau Pondok pesantren Al-Khiyaroh diasuh oleh kakaknya K.H Izzuddin Zahid, karena pada saat itu putra-putra beliau masih dalam tahap belajar di dalam pesantren. Pada tahun 1994 KH. Izzudin Zahid wafat, setelah itu Pondok Al-Khiyaroh ini dipegang oleh KH. Adib Rofiudin Izza yang juga putra KH. Izzuddin Zahid.

    Pada tahun 1997, pondok Al-khiyaroh yang sebelumnya sempat diasuh oleh K.H Izzudin Zahid diserahkan kembali pada putra K.H Nashirudin Zahid yaitu KH. Moh. Farid NZ, yang pada tahun tersebut telah menamatkan Pendidikan di Pondok Pesantren Sarang Rembang asuhan KH. Maimun Zubair. Pada tahun berikutnya, putra yang ketiga yaitu KH. Ahmad Haris NZ telah menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Manbaul Ulum Pakis asuhan KH. Arik Muhammadun , yang sebelumnya juga sempat merasakan Pendidikan di Pesantren Sarang Rembang Bersama kakaknya.

    Ditinjau dari sudut penyelenggaraan Pendidikan dan pengajaran, Pondok Pesantren Al-Khiyaroh dapat dikategorikan sebagai Pondok Pesantren salaf. Namun, Al-Khiyaroh juga memadukan metode salaf dan modern yang bisa juga disebut sebagai pesantren kombinasi. Dalam system dirosah diniyah Pondok Pesantren Al-Khiyaroh mengelompokkan santri dalam beberapa tingkat sesuai dengan kemampuannya, yaitu tingkat sekolah persiapan (SP) Muhadhoroh, kelas 1 Muhadhoroh, kelas 2 Muhadhoroh, kelas 3 Muhadhoroh, dan kelas musyawaroh. Dari kelima tingkat yang ada masing-masing mempelajari kitab yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatannya.

    Selanjutnya Pondok Pesantren Al-Khiyaroh disamping mempelajari ilmu-ilmu agam dan umum juga mempelajari ilmu kebathinan yang diasuh oleh KH. Ahmad Haris NZ. Ada 2 metode yang digunakan di Pondok Pesantren Al-khiyaroh dalam mendidik para santri yaitu : Metode sorogan dan Metode Bandongan. Metode sorogan adalah metode Pendidikan yang menentukan pada kesanggupan pada kesanggupan para santri untuk membaca dan mempelajari kitab sumber. Metode ini dipakai dalam Pendidikan Dirosah Diniyah. Metode yang kedua yaitu metode Bandongan, dalam metode ini, para santri keseluruhan Bersama-sama mengaji/mempelajari sebuah kitab pada pengasuh Pondok atau disebut juga dengan pengajian umum.

    Metode Sorogan dapat dikaitkan bersifat individual dan metode Bandongan bersifat klasikal, adapun alasan Pondok Al-Khiyaroh mnggunakan kedua metode ini, memililiki beberapa keuntungan antara lain :

  1. Mendidik santri sesuai dengan kemampuannya.
  2. Evaluasi dan pengawasan terhadap santri-santri lebih mantap dan kongkrit.
  3. Membina hubungan yang lebih akrab antara Kyai, Asatidz dan santri.
  4. Dapat mengetahui karakter dan kemampuan santri dalam mempelajari ilmu.

0 komentar:

Posting Komentar